Angin
senja terasa sendu. Menyapa daun-daun yang siap gugur di pekarangan rumah. Menyentuh
lembut wajah basahku. Basah oleh tetes air mata yang tak kunjung berhenti. Air
mata yang menyimpan doa dan harapan dalam tiap tetesnya, yang kukirimkan untuk
lelaki tercintaku. Untuk lelaki bersahaja yang selalu menyayangiku dan memberi
semangat dalam setiap langkah hidupku. Untuk lelaki yang tlah kembali pada-Nya
dengan senyum ketenangan. Untuk lelaki yang mengingatkanku bahwa segala sesuatu
adalah milik-Nya.
Abah.
Sosok yang Ia hadirkan dalam hidupku, sejak kuhembuskan nafas pertamaku. Namun
kini, dengan cara-Nya yang Maha Sempurna, Ia telah mengambil beliau kembali. Dengan
cara-Nya yang Maha Bijaksanana, Ia mengenalkanku akan Kuasa-Nya. Dan dengan
cara-Nya yang Maha Rahmat, Ia mengajarkanku untuk selalu siap atas apa yang Ia
kehendaki untukku.
Abah
kembali sebelum aku mengabulkan permintaan beliau. Menikah. Dua hari yang lalu,
abah berkata padaku, “Nduk, abah rasa
sudah saatnya abah menyerahkanmu pada yang berhak menjagamu. Sepertinya tugas
abah sudah selesai. Kuliahmu sudah selasai. Sebentar lagi, kamu juga akan
menjadi dokter. Apa kamu sudah menemukannya? Kalau toh sudah ada, segera
kenalkan pada abah, Nduk.” Perkataan beliau itu selalu teringat dalam pikirku
hingga senja ini. Aku belum sempat mengenalkannya pada abah. Dan abah pun belum
sempat menyerahkanku padanya. Allah lebih dulu memanggil beliau tuk kembali.
“Nay..
Nayla..” suara lembut ummi menahan tangisku. Kubalikkan badan dan kulihat wajah
tegar ummi berusaha tersenyum.
“Sudah
sore nduk, hampir maghrib. Ayo, masuk
rumah dulu,” kini senyum tlah menghiasi wajah ummi.
Namun
aku tak sanggup membalas senyum tegar ummi. Tangisku semakin menjadi melihat ummi
begitu tegar. Aku terenyuh dengan ketegaran ummi. Satu minggu yang lalu, ummi
pulang ke kampung halamannya. Nenek sakit. Ummi tiba di rumah tepat saat abah
menghembuskan nafas terakhir. Tapi sekarang ummi telah mampu tersenyum tegar.
Berusaha menguatkan diriya dan juga diriku.
Melihat
aku yang terus menangis, ummi menghampiri dan memelukku. Menenangkan. “Anakku,
sudah, jangan terus kau tangisi. Abahmu
sudah tenang di sana. Sudah ya.. Adzan sudah berkumandang. Sholat dulu Nduk,”
kata ummi sambil tetap tersenyum dan memelukku. Sepanjang perjalanan hidupku,
jika aku terjatuh, ummi adalah penguat hatiku. Ketegaran dan kesabarannya selalu
membuatku berusaha untuk berdiri kembali. Kupeluk erat ummi dan senyum pun
mampu kuhias di wajahku.
ZZZ
Matahari
begitu cerah. Burung-burung berkicau dengan indahnya. Seminggu sudah tanpa abah
di sini. Tapi perjalanan hidupku akan tetap berjalan.
Tilulit..
Suara itu melengking keluar dari netbook-ku. Tanda bahwa satu messange
menyapaku. Adam.
“Assalamualaikum
Nay. Aku turut berduka atas wafatnya abah. Semoga beliau diterima di sisi-Nya.
Nay juga harus tetep tabah dan kuat untuk menjalani hidup Nay. Aku udah di
Indonesia Nay. Tetaplah tersenyum. Wassalam.”
“Syukron.
Saantadhiruka. J”
Tidak
ada balasan lagi setelah itu. Mungkin dia ada urusan. Adam adalah lelaki yang
seharusnya hari ini aku kenalkan pada abah. Lelaki yang t’lah kupilih sebagai penuntunku
setelah abah. Lagi-lagi aku tak sanggup menahan air mataku. Lagi-lagi aku belum
sanggup menerima takdir tuhan ini. Hatiku masih saja terasa sesak. Masih ada beban
yang menyesaki luasnya hati. Dawuh abah kembali menguasai kepalaku.
“Nayla
anakku, masih beratkah kamu melepas abahmu kembali pada-Nya? Masih beratkah kamu
melepas abahmu untuk tenang di sisi-Nya Nduk?” ummi mendekapku lembut. “Sebenarnya
apa yang membuatmu terus-terusan sedih? Abah akan sedih jika melihatmu seperti
ini.”
Aku
masih belum bisa berkata-kata. Dan itu membuat ummi semakin cemas. Namun,
beliau semakin mendekapku dengan penuh kelembutan. "Anakku, ada apa?
Ceritakan pada ummi Nduk."
"Ummi…
Nay.. hmm.. Nay belum sempat mengabulkan permintaan abah." Perlahan,
kukatakan sekuatku pada ummi.
"Permintaan?
Permintaan apa nduk?"
"Abah
ingin Nay menikah ummi. Tapi, Nay belum sempat. Dan bahkan memperkenalkan Adam
saja Nay belum belum melakukannya Mi." tangisku kembali pecah. Dawuh
abah kembali teringat.
"Nay..
sudah nak. Sudah. Memang seperti ini yang digariskan oleh Allah. Memang ini
yang harus kamu jalani. Sudahlah nduk. Semua ini milik-Nya. Tawakkal nduk. Tawakkal."
perkataan ummi mulai membuat hatiku tenang. "Sudah.. lapangkan hatimu
nduk. Ummi yakin Nay bisa. Nay bukan perempuan yang lemah." Ummi tersenyum
kepadaku. Berusaha untuk membangkitkan jiwa lemahku.
"J" aku pun sudah mampu
tersenyum. Alhamdulillah. Kurasakan benih-benih ketegaran sudah mulai
bermekaran di hatiku.
"kamu
belum sarapan kan? Ayo sarapan dulu. Adam jadi kapan datangnya? Kalau ummi
tidak salah ingat, Nay dulu bilang ia datang hari ini. Jadi?" tanya ummi
sambil mengambil nasi di meja makan.
"Enggeh
Mi. Baru aja dia nyampek."
"Terus
ke sininya kapan Nay? Sama orang tuanya juga kan?"
"Rencananya
hari ini Mi. Mungkin nanti malam. Tapi, Nay belum bicara lagi sama dia tentang
itu Mi."
"Hari
ini? Loh, ummi belum nyiapkan apa-apa loh nduk."
"Kan
masih nanti malam Mi. Masih ada banyak waktu. Tapi itu juga belum pasti Mi. Sepertinya
dia masih sibuk. Nanti kalau dia sudah ada waktu luang, Nay tanya lagi."
"Ya
sudah, tapi Usahakan secepatnya ya Nduk? Biar ummi bisa siap-siap."
"Enggeh
Ummi. Insya Allah. Oiya Mi, Nay habis ini mau ke rumah sakit. Ini hari pertama
Nay kerja. Ummi ditinggal nggak apa-apa kan?"
"Alhamdulillah.
Nggak papa nduk. Nanti budhemu ke sini. Insya Allah dia tinggal di sini
beberapa minggu. Rumahnya sedang direnovasi."
"Alhamdulillah
kalau begitu mi. J"
Usai
makan, aku bersiap-siap untuk kerja pertamaku. Sudah ada Elen -teman akrabku-
yang menungguku di depan rumah.
ZZZ
Alhamdulillah.
Sudah ada 10 pasien yang datang kepadaku dan alhamdulillah semuanya berjalan
lancar. Tapi semua itu membuatku cukup lelah. sekarang memang sudah waktunya
untuk istirahat. Kuputuskan mencari Elen untuk makan siang bersama.
Ketika
aku berjalan menuju tempat parkir, aku melihat lelaki yang sepertinya ku kenal
turun dari mobil. Adam? untuk apa dia ke sini? Menemuiku?
"Len,
bentar dech. Itu Adam bukan?"
"Adam?
Ehmm.. iya Nay. Nyariin kamu tuh pastinya."
"Ah,
tapi aku belum bilang ke dia kalo aku kerja di sini."
"Ya
mungkin aja Nay, dia barusan dari rumah kamu dan.."
"hmm..
tuh kan dia nggak nyariin aku." Kupotong kata-kata Elen ketika kulihat dia
sudah berbicara dengan ibunya dan seorang perempuan. Dokter Ina. Hmm.. ada apa
yah?
"Nay,
kok ada ibunya? Dokter Ina juga? Apa hubungannya yah?"
"hmm..
yah mungkin aja ada keluarganya yang sakit. Ya udah dech, berangkat yuk! Udah
laper nih."
"tapi
aku masih penasaran Nay."
"Aduh..
udah dech Len. Nanti kalo udah waktunya tau juga akan tau sendiri."
ZZZ
Ketika
aku akan pulang, aku bertemu dengan tante Ana -ibunya Adam- dan dokter Ina. Aku
tersenyum kepada mereka.
"Nayla
kan? Temennya Adam? Kerja di sini juga?”
"Iya
tante."
"Adam
sudah datang dari Mesir. Dia ada di sini loh. Dari bandara, tante langsung suruh
dia ke sini. Soalnya ada yang mau tante bicarakan dengannya dan dokter Ina.
Kamu sudah kenal dengan dokter Ina?
'Sudah
tante.' Seharusnya kalimat itu keluar dari mulutku tapi sudah dijawab oleh
dokter Ina."Iya bu, kami sudah saling mengenal. Dulu kami teman satu
kampus."
Aku
hanya tersenyum mengiyakan ucapan dokter Ina.
"Oh,
jadi kalian ini teman satu kampus tho. Oiy Nay, dokter Ina ini calon istrinya
Adam. Tahun ini Insya Allah mereka akan menikah."
"…."
Aku tidak bisa berkata-kata. Hanya senyum yang kupaksakan yang bisa kuberikan.
Masya Allah apa ucapan tante Ana tadi benar? Masya Allah. Calon istri? Calon
istri Adam? Masya Allah. Apa-apaan ini? Apa Adam belum berbicara dengan orang
tuanya mengenai diriku? Hmmh.. Aku sudah tidak sanggup lagi berdiri lama-lama
di sini, melihat aura bahagia pada wajah tante Ana dan dokter Ina. Setelah
memberi ucapan selamat yang 'seadanya', aku ingin secepat mungkin tiba di rumah.
Tapi sayangnya, Adam datang. Entah dari mana.
"Lah,
ini Adam. Kamu belum bertemu dia kan Nay? " kata tante Ana.
"Emmh..
belum tante. Hai Dam! Apa kabar?" kucoba untuk tetap tersenyum sebisaku.
"Eh..
baik Nay. Kerja di.. sini juga?" kata Adam agak canggung. Ada gurat
khawatir terpancar dari sorot matanya. Entah. Aku tidak tau apa yang
dikhawatirkannya.
Aku
hanya mengangguk. Setelah permisi aku menuju tempat parkir dan menceritakan
semua ini pada Elen.
"Calon
istri? Ah, sulit dipercaya. Apa Adam setega itu Nay? Lalu apa maksud komitmen
dia selama ini?"
"Aku
nggak tau Len. Aku nggak tau ada apa di balik semua ini? Masya Allah. Aku nggak
kuat Len. Aku…." Tetes air mata pun perlahan membasahi wajahku.
"Nay..
udah, udah yah? Tawakkal aja. Hanya Dia Yang Maha Tau. Maha Berkehendak. Serahkan
aja semua ini pada-Nya. Terlebih ini masalah jodoh. Kalo emang jodoh, dia nggak
akan ke mana-mana kok. Udah yah.? Kamu pasti sanggup melewati semua ini."
"Hemm..
thanks Len. Aku jadi takut membayangkan masa depan. Penuh misteri."
"
Nay, misteri itu bukan untuk ditakuti, tapi untuk diungkap. Udah ya. Tetep jadi
Nay yang kuat. J"
ZZZ
Sesampainya
di rumah, ummi dan budhe menyambutku dengan senyuman.
"Apa
kabar nduk? Gimana hari pertama jadi bu dokter?" tanya budhe dengan riang.
"Alhamdulillah
Budhe, lancar."
"Tapi
kamu kelihatan lelah sekali nduk. Pasiennya banyak?" tanya ummi.
"Sekitar
20 Ummi. Yah cukup melelahkan bagi dokter pemula seperti Nay. Emm.. Ummi, Budhe,
Nay ke kamar dulu ya?"
"Iya
nduk. Selamat istirahat Bu dokter." Sahut ummi.
Ketika
aku membuka pintu kamar, bel berbunyi. Ummi
beranjak dari duduknya. Tak lama setelah itu, ummi memanggilku di kamar. Tapi
ini bukan waktu yang tepat. Ummi memanggilku saat aku sedang menangis.
"Nay..
Ada Adam. Tapi dia.. Loh, kenapa lagi Nduk?"
"Emh
tidak mi.. Nay hanya lelah. Emh, ummi bilang ke dia ya, Nay lelah, udah mau
tidur."
"Ada
masalah? Jangan suka memperpanjang permasalahan Nduk. Sudah, temui dia. Kalau
ada masalah, segera selesaikan. Ummi perhatikan, dia sangat berharap bisa
bertemu denganmu."
"Ummi
temani Nay yah?"
"Ya
nggak enak tho nduk. Ummi awasi dari balik tirai aja. Udah, ayo."
Dengan
langkah gontai, kutemui dia. Sejenak kulihat sorot matanya. Masih terlihat kekhawatiran
dari wajahnya.
"Nay..
kuharap, kamu nggak salah paham." katanya memulai pembicaraan.
"Hmm..
apa yang harus aku salah pahami? Semuanya sudah jelas kan?"
"Nay..
maaf kalau aku sudah melukaimu. Maaf Nay. Tapi aku nggak bermaksud."
"Lalu
apa maksud semua ini? Dokter Ina? Calon istri? Lalu komitmenmu denganku? Selama
ini? Apa maksudnya Dam? Selama ini aku mempertahankanmu Dam. Aku menunggumu.
Tapi apa maksud semua ini? Apa??!" aku sudah tidak bisa membendung tangis
yang kutahan sejak pembicaraan ini dimulai.
"Nay..
kumohon jangan menangis. Dengarkan aku dulu. Aku serius dengan komitmenku
selama ini. Aku tidak main-main Nay. Hanya saja, aku belum membicarakannya
dengan orang tuaku. Nah, orang tuaku mengira, bahwa aku belum punya pilihan.
Jadi, ibu menjodohkanku dengan dokter Ina. Putri dari teman akrab beliau. Dan
maaf, aku belum bisa untuk menjelaskan kepada ibu. Aku selalu terkendali ketika
berhadapan dengan ibu. Aku teramat menghormatinya."
"Sejak
kapan semua ini terjadi?"
"Emm..
hampir dua tahun." Katanya sambil menunduk.
"Dan
selama itu tidak ada ketegasan? Dan harapan dokter Ina kepadamu bukankah semakin
besar?"
"Maaf
Nay.. yah, aku memang salah."
"Aku
tidak butuh maafmu Dam. Aku hanya butuh ketegasanmu. Sekarang, tinggal
bagaimana dirimu. Ketegasanmu. Aku sendiri sudah siap sejak 3 tahun yang lalu.
Sejak kau meyakinkanku. Dokter Ina juga sepertinya sudah siap. Tinggal
ketegasanmu, Dam. Ketegasanmu kepadaku, dokter Ina, juga orang tuamu."
"Nay,
aku sengaja tidak membicarakan komitmen kita kepada orang tuaku dan dokter Ina
ketika aku masih di Mesir. Aku ingin bicara secara langsung agr tak terjadi miss
communication karena keterbatasan ruang."
"Sudah?"
"Maaf
Nay.." sekali lagi, ia menunduk.
"Aku
butuh ketegasanmu, Adam."
"Baiklah
Nay. Aku akan berikan ketegasan itu." Katanya dengan tegas menatapku.
"Aku
harap, aku tidak harus menunggu lama, Dam."
"Nay..
kamu masih yakin denganku kan?"
"Menurutmu?"
"Hmm..
baiklah Nay. Secepatnya, akan kubuktikan keseriusan komitenku."
Aku
hanya bisa menghela nafas. Setelah itu dia pamit pulang. Ummi menghampirku dan
tersenyum.
"Nduk,
minta yang terbaik saja kepada Allah. Kalau iya ya jadi, kalo nggak kita bisa
apa? Tawakkal yah?"
"Enggeh
Mi, J"
“Dia
Yang Maha Menentukan. Hanya Dia. Selama ini kamu sudah berusaha. Tapi tetap
saja semuanya tergantung pada-Nya. Tawakkal
Nduk.”
Hmm..
yah, Segala sesuatu memang tergantung Kehendak-Nya. Karena segala sesuatu
adalah milik-Nya. Namun bagiku, menjadi orang yang tawakkal tidaklah mudah.
Apalagi untuk menghadapi masalah ini. Hmm.. tapi, ya sudahlah. Apa daya. Aku hanya
makhluk-Nya yang lemah. Kalau memang aku dijadikan dari tulang rusuk Adam,
apapun yang akan terjadi, dia pasti akan datang kepadaku. Tapi kalau ternyata
bukan dia, pasti ada hikmah yang baik untuk hidupku. Kupercayakan pada-Nya.
ZZZ
Entah,
ada rahasia apa dibalik rahasia-Nya. Namun aku yakin, Dia adalah sebaik-baik
Maha Pengatur.
Seminngu
telah berlalu setelah pertemuanku dengan Adam. Selama itu, ia tidak
menghubungiku sama sekali. Dan selama itu pula, aku hanya bisa berusaha untuk
tawakkal. Aku berusaha untuk tidak terlalu berharap kepadanya. Bukan suatu hal
yang mudah tentunya. Tapi, aku selalu berusaha. Dengan rutinitasku yang kini
sudah mulai padat, aku merasa terbantu untuk tidak terlalu menggantungkan
hatiku padanya. Hingga hari ini, saat ia kembali meyakinkanku bahwa aku adalah
perempuan yang ia pilih untuk mendampingi hidupnya. Saat ia menjelaskan padaku
bahwa ia tlah berbicara secara baik-baik dengan dokter Ina. Saat ia
menceritakan bahwa dokter Ina juga memiliki dua pilihan dan menerima bahwa ia
memilihku. Aku tetap berusaha untuk tawakkal. Memang, ada suatu kelegahan hati.
Tapi aku tak ingin larut dalam rasa itu. Karena semua ini adalah milik-Nya. Ia
berhak mengambilnya kapanpun. Kapanpun.
ZZZ
“Assalamualaikum…” terdengar salam dari suara
lelaki yang tidak asing lagi bagiku, ketika aku sedang mendengarkan music klasik
di kamar.
Segera
ku jawab, kuhampiri si empunya suara dan kucium tangannya,”Waalaikumsalam
warahmatullah.. Mas Adam kok pulangnya lebih cepat?”
“Iya,
kerjaanku udah selesai. Enggak tau kenapa hari ini aku ngerasa kangen sama
kamu, apalagi sama si kecil ini. Jadi pulangnya aku cepetin. Ummi mana??”
Katanya sambil mencium perutku.
Yah,
aku sudah menikah dengan Adam 5 bulan yang lalu dan sekarang, aku sudah hamil 3
bulan. Alhamdulillah.
“J Ummi sudah tidur barusan. Mas
Adam udah makan? Ini masih Nay siapkan nasi goreng kesukaan Mas.”
“Alhamdulillah.
Mas udah makan Dinda. Tapi, hmm.. aroma masakanmu khas. Mas jadi pengen makan
lagi. Tapi kalo makannya ditemenin sama istriku yang cantik ini, pasti tambah
nikmat deh. Hehe.”
“J Mask kok tumben ya hari ini. Biasanya
kan mas nggak pernah muji Nay.”
“Mas
lagi pengen aja din. Selama ini kan mas selalu mendem pujian buat kamu. Tapi
hari ini mas udah ngga bisa mendemnya lagi.”Katanya
sambil menikmati nasi goreng.
“J”
“Dinda,
kamu jaga janin kita baik-baik yah.”
‘Tentu
Mas. Mas juga akan bantu jaga dia kan?”
“Insya
Allah. Selama mas mampu mas akan jaga dia Din. Mas istrahat dulu yah? Capek
banget rasanya.” Katanya seusai makan.
“Ia
mas. Nanti Nay nyusul. Nay mau cuci iring dulu.”
Setelah
ia mencium kening dan perutku, ia masuk ke kamar. Tak lama setelah itu, ada
angin sejuk yang menyapaku. Tapi anehnya, angin itu membuatku ingin cepat-cepat
menghampiri Adam. Aku merasa sangat merindukannya. Segera kuselesaikan
pekerjaanku dan kuhampiri Adam di kamar. Dia sudah terlelap. Mungkin dia lelah
sekali. Biasanya, sebelum tidur ia sempatkan waktu untuk membaca buku. Tapi…
ada yang aneh, wajahnya terlihat berseri-seri, tapi.. kenapa pucat? Apa ia
sakit? Perasaan cemas tiba-tiba menghampiriku. Kuraba keningnya, tangannya,
dingin. Dingin sekali. Hmm.. tidak seperti biasanya. Kenapa ini?? Ada apa
dengannya? Tidak ada dengkuran kecilnya. Dan tubuhnya… tubuhnya… tidak
bergerak. Tidak ada hembus nafas yang terlihat dari dadanya. Kuraba nadinya.
Tidak ada. Hidungnya. Tidak ada hembus nafas. Ya Rabb… ada apa ini?? Angin
sejuk nan dingin semakin terasa. Membuat tubuhku gemetar. Perasaan tak karuan
bermunculan. Kukoyak tubuhnya. Tetap. Tidak ada reaksi.
“Mas
Adam??! Mas?? Mas jawab Nay! Mas?! Mas jangan bercanda! Mas?!” tangisku sudah
tak bisa terbendung. Perasaanku semakin tak karuan. “Mas Adam???
Maaaaaaaaaaaaaass??! Mas… Mas Adam?? Mas??!!” tangisku pun semakin menjadi.
Segera aku berlari ke kamar Ummi.
“Ummi…
Mi… mas Adam Mi… Ummi…”
“Lho…
ada apa tho nduk?? Ada apa? Kok menangis?”
“Mas
Adam Mi.. Mas Adam.. tidak bergerak..”
“Tidak
bergerak gimana nduk?? Ayo ayo kita lihat..”
Aku
pun kembali ke kamar dengan tubuh yang sudah lemas. Aku takut. Entah, aku belum
siap. Ya Rabb…
“Nak…
Adam.. bangun Nak..” kata Ummi sambil mengecek hidung, dada dan nadi Adam.
“Nak..??
Masya Allah… Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun.. Allah… anakku Nayla..
tabahkan hatimu nduk..” ummi memelukku erat.
“Ummi…
tidak mi.. tidak. Ummi… Mas Adam… Nay belum bisa…” Tubuhku sudah sangat lemas,
namun tangisku kian menjadi.
“Nduk..
semua ini milik-Nya nduk.. Semua ini milik-Nya.. Memang sudah waktunya Adam
untuk kembali nduk. Dia kembali dengan bahagia. Lihat, wajahnya berseri nduk. Tabahkan
hatimu, Nduk.”
Ya
Rabb. Ternyata, pujiannya tadi, ia ucapkan untuk yang terakhir kalinya.
Tenyata, pesannya adalah pesan yang terakhir kalinya. Masya Allah. Aku tau,
semua adalah milik-Mu. Milik-Mu sepenuhnya. Tapi hamba hanyalah hamba-Mu yang
lemah. Hamba masih terlalu lemah untuk melepaskannya kembali pada-Mu. Hamba
masih terlalu lemah untuk melepas ayah dari janin ini Ya Rabb. Massih terlalu
lemah. Maka kuatkanlah hamba-Mu ini Ya Rabb.. Kuatkan hamba. Masya Allah…
ZZZ
Angin senja terasa
semakin sendu. Menyapa daun-daun yang siap gugur di pekarangan rumah. Menyentuh
lembut wajah basahku. Basah oleh tetes air mata yang tak kunjung berhenti. Air
mata yang menyimpan doa dan harapan dalam tiap tetesnya. Doa dan harapan yang
kukirimkan untuk dua lelaki tercintaku. Untuk lelaki bersahaja yang selalu
menyayangiku. Yang selalu memberi semangat dalam setiap langkah hidupku. Untuk lelaki
yang tlah kembali pada-Nya dengan senyum ketenangan. Dengan wajah berseri-seri.
Untuk lelaki yang mengingatkanku bahwa segala sesuatu adalah milik-Nya. Abah…
Adam… Bahagialah di sana.
Akhwat Smile - 03 Jumadil Akhir 1432
Tidak ada komentar:
Posting Komentar