Rabu, 20 Juni 2012

Semua Milik-Mu

     Angin senja terasa sendu. Menyapa daun-daun yang siap gugur di pekarangan rumah. Menyentuh lembut wajah basahku. Basah oleh tetes air mata yang tak kunjung berhenti. Air mata yang menyimpan doa dan harapan dalam tiap tetesnya, yang kukirimkan untuk lelaki tercintaku. Untuk lelaki bersahaja yang selalu menyayangiku dan memberi semangat dalam setiap langkah hidupku. Untuk lelaki yang tlah kembali pada-Nya dengan senyum ketenangan. Untuk lelaki yang mengingatkanku bahwa segala sesuatu adalah milik-Nya.

Abah. Sosok yang Ia hadirkan dalam hidupku, sejak kuhembuskan nafas pertamaku. Namun kini, dengan cara-Nya yang Maha Sempurna, Ia telah mengambil beliau kembali. Dengan cara-Nya yang Maha Bijaksanana, Ia mengenalkanku akan Kuasa-Nya. Dan dengan cara-Nya yang Maha Rahmat, Ia mengajarkanku untuk selalu siap atas apa yang Ia kehendaki untukku.
Abah kembali sebelum aku mengabulkan permintaan beliau. Menikah. Dua hari yang lalu, abah berkata padaku,  “Nduk, abah rasa sudah saatnya abah menyerahkanmu pada yang berhak menjagamu. Sepertinya tugas abah sudah selesai. Kuliahmu sudah selasai. Sebentar lagi, kamu juga akan menjadi dokter. Apa kamu sudah menemukannya? Kalau toh sudah ada, segera kenalkan pada abah, Nduk.” Perkataan beliau itu selalu teringat dalam pikirku hingga senja ini. Aku belum sempat mengenalkannya pada abah. Dan abah pun belum sempat menyerahkanku padanya. Allah lebih dulu memanggil beliau tuk kembali.
“Nay.. Nayla..” suara lembut ummi menahan tangisku. Kubalikkan badan dan kulihat wajah tegar ummi berusaha tersenyum.
“Sudah sore nduk, hampir maghrib.  Ayo, masuk rumah dulu,” kini senyum tlah menghiasi wajah ummi.
Namun aku tak sanggup membalas senyum tegar ummi. Tangisku semakin menjadi melihat ummi begitu tegar. Aku terenyuh dengan ketegaran ummi. Satu minggu yang lalu, ummi pulang ke kampung halamannya. Nenek sakit. Ummi tiba di rumah tepat saat abah menghembuskan nafas terakhir. Tapi sekarang ummi telah mampu tersenyum tegar. Berusaha menguatkan diriya dan juga diriku.
Melihat aku yang terus menangis, ummi menghampiri dan memelukku. Menenangkan. “Anakku, sudah, jangan terus  kau tangisi. Abahmu sudah tenang di sana. Sudah ya.. Adzan sudah berkumandang. Sholat dulu Nduk,” kata ummi sambil tetap tersenyum dan memelukku. Sepanjang perjalanan hidupku, jika aku terjatuh, ummi adalah penguat hatiku. Ketegaran dan kesabarannya selalu membuatku berusaha untuk berdiri kembali. Kupeluk erat ummi dan senyum pun mampu kuhias di wajahku.
ZZZ
Matahari begitu cerah. Burung-burung berkicau dengan indahnya. Seminggu sudah tanpa abah di sini. Tapi perjalanan hidupku akan tetap berjalan.
Tilulit.. Suara itu melengking keluar dari netbook-ku. Tanda bahwa satu messange menyapaku. Adam.
“Assalamualaikum Nay. Aku turut berduka atas wafatnya abah. Semoga beliau diterima di sisi-Nya. Nay juga harus tetep tabah dan kuat untuk menjalani hidup Nay. Aku udah di Indonesia Nay. Tetaplah tersenyum. Wassalam.”
“Syukron. Saantadhiruka. J
Tidak ada balasan lagi setelah itu. Mungkin dia ada urusan. Adam adalah lelaki yang seharusnya hari ini aku kenalkan pada abah. Lelaki yang t’lah kupilih sebagai penuntunku setelah abah. Lagi-lagi aku tak sanggup menahan air mataku. Lagi-lagi aku belum sanggup menerima takdir tuhan ini. Hatiku masih saja terasa sesak. Masih ada beban yang menyesaki luasnya hati. Dawuh abah kembali menguasai kepalaku.
“Nayla anakku, masih beratkah kamu melepas abahmu kembali pada-Nya? Masih beratkah kamu melepas abahmu untuk tenang di sisi-Nya Nduk?” ummi mendekapku lembut. “Sebenarnya apa yang membuatmu terus-terusan sedih? Abah akan sedih jika melihatmu seperti ini.”
Aku masih belum bisa berkata-kata. Dan itu membuat ummi semakin cemas. Namun, beliau semakin mendekapku dengan penuh kelembutan. "Anakku, ada apa? Ceritakan pada ummi Nduk."
"Ummi… Nay.. hmm.. Nay belum sempat mengabulkan permintaan abah." Perlahan, kukatakan sekuatku pada ummi.
"Permintaan? Permintaan apa nduk?"
"Abah ingin Nay menikah ummi. Tapi, Nay belum sempat. Dan bahkan memperkenalkan Adam saja Nay belum belum melakukannya Mi." tangisku kembali pecah. Dawuh abah kembali teringat.
"Nay.. sudah nak. Sudah. Memang seperti ini yang digariskan oleh Allah. Memang ini yang harus kamu jalani. Sudahlah nduk. Semua ini milik-Nya. Tawakkal nduk. Tawakkal." perkataan ummi mulai membuat hatiku tenang. "Sudah.. lapangkan hatimu nduk. Ummi yakin Nay bisa. Nay bukan perempuan yang lemah." Ummi tersenyum kepadaku. Berusaha untuk membangkitkan jiwa lemahku.
"J" aku pun sudah mampu tersenyum. Alhamdulillah. Kurasakan benih-benih ketegaran sudah mulai bermekaran di hatiku.
"kamu belum sarapan kan? Ayo sarapan dulu. Adam jadi kapan datangnya? Kalau ummi tidak salah ingat, Nay dulu bilang ia datang hari ini. Jadi?" tanya ummi sambil mengambil nasi di meja makan.
"Enggeh Mi. Baru aja dia nyampek."
"Terus ke sininya kapan Nay? Sama orang tuanya juga kan?"
"Rencananya hari ini Mi. Mungkin nanti malam. Tapi, Nay belum bicara lagi sama dia tentang itu Mi."
"Hari ini? Loh, ummi belum nyiapkan apa-apa loh nduk."
"Kan masih nanti malam Mi. Masih ada banyak waktu. Tapi itu juga belum pasti Mi. Sepertinya dia masih sibuk. Nanti kalau dia sudah ada waktu luang, Nay tanya lagi."
"Ya sudah, tapi Usahakan secepatnya ya Nduk? Biar ummi bisa siap-siap."
"Enggeh Ummi. Insya Allah. Oiya Mi, Nay habis ini mau ke rumah sakit. Ini hari pertama Nay kerja. Ummi ditinggal nggak apa-apa kan?"
"Alhamdulillah. Nggak papa nduk. Nanti budhemu ke sini. Insya Allah dia tinggal di sini beberapa minggu. Rumahnya sedang direnovasi."
"Alhamdulillah kalau begitu mi. J"
Usai makan, aku bersiap-siap untuk kerja pertamaku. Sudah ada Elen -teman akrabku- yang menungguku di depan rumah.
ZZZ
Alhamdulillah. Sudah ada 10 pasien yang datang kepadaku dan alhamdulillah semuanya berjalan lancar. Tapi semua itu membuatku cukup lelah. sekarang memang sudah waktunya untuk istirahat. Kuputuskan mencari Elen untuk makan siang bersama.
Ketika aku berjalan menuju tempat parkir, aku melihat lelaki yang sepertinya ku kenal turun dari mobil. Adam? untuk apa dia ke sini? Menemuiku?
"Len, bentar dech. Itu Adam bukan?"
"Adam? Ehmm.. iya Nay. Nyariin kamu tuh pastinya."
"Ah, tapi aku belum bilang ke dia kalo aku kerja di sini."
"Ya mungkin aja Nay, dia barusan dari rumah kamu dan.."
"hmm.. tuh kan dia nggak nyariin aku." Kupotong kata-kata Elen ketika kulihat dia sudah berbicara dengan ibunya dan seorang perempuan. Dokter Ina. Hmm.. ada apa yah?
"Nay, kok ada ibunya? Dokter Ina juga? Apa hubungannya yah?"
"hmm.. yah mungkin aja ada keluarganya yang sakit. Ya udah dech, berangkat yuk! Udah laper nih."
"tapi aku masih penasaran Nay."
"Aduh.. udah dech Len. Nanti kalo udah waktunya tau juga akan tau sendiri."
ZZZ
Ketika aku akan pulang, aku bertemu dengan tante Ana -ibunya Adam- dan dokter Ina. Aku tersenyum kepada mereka.
"Nayla kan? Temennya Adam? Kerja di sini juga?”
"Iya tante."
"Adam sudah datang dari Mesir. Dia ada di sini loh. Dari bandara, tante langsung suruh dia ke sini. Soalnya ada yang mau tante bicarakan dengannya dan dokter Ina. Kamu sudah kenal dengan dokter Ina?
'Sudah tante.' Seharusnya kalimat itu keluar dari mulutku tapi sudah dijawab oleh dokter Ina."Iya bu, kami sudah saling mengenal. Dulu kami teman satu kampus."
Aku hanya tersenyum mengiyakan ucapan dokter Ina.
"Oh, jadi kalian ini teman satu kampus tho. Oiy Nay, dokter Ina ini calon istrinya Adam. Tahun ini Insya Allah mereka akan menikah."
"…." Aku tidak bisa berkata-kata. Hanya senyum yang kupaksakan yang bisa kuberikan. Masya Allah apa ucapan tante Ana tadi benar? Masya Allah. Calon istri? Calon istri Adam? Masya Allah. Apa-apaan ini? Apa Adam belum berbicara dengan orang tuanya mengenai diriku? Hmmh.. Aku sudah tidak sanggup lagi berdiri lama-lama di sini, melihat aura bahagia pada wajah tante Ana dan dokter Ina. Setelah memberi ucapan selamat yang 'seadanya', aku ingin secepat mungkin tiba di rumah. Tapi sayangnya, Adam datang. Entah dari mana.
"Lah, ini Adam. Kamu belum bertemu dia kan Nay? " kata tante Ana.
"Emmh.. belum tante. Hai Dam! Apa kabar?" kucoba untuk tetap tersenyum sebisaku.
"Eh.. baik Nay. Kerja di.. sini juga?" kata Adam agak canggung. Ada gurat khawatir terpancar dari sorot matanya. Entah. Aku tidak tau apa yang dikhawatirkannya.
Aku hanya mengangguk. Setelah permisi aku menuju tempat parkir dan menceritakan semua ini pada Elen.
"Calon istri? Ah, sulit dipercaya. Apa Adam setega itu Nay? Lalu apa maksud komitmen dia selama ini?"
"Aku nggak tau Len. Aku nggak tau ada apa di balik semua ini? Masya Allah. Aku nggak kuat Len. Aku…." Tetes air mata pun perlahan membasahi wajahku.
"Nay.. udah, udah yah? Tawakkal aja. Hanya Dia Yang Maha Tau. Maha Berkehendak. Serahkan aja semua ini pada-Nya. Terlebih ini masalah jodoh. Kalo emang jodoh, dia nggak akan ke mana-mana kok. Udah yah.? Kamu pasti sanggup melewati semua ini."
"Hemm.. thanks Len. Aku jadi takut membayangkan masa depan. Penuh misteri."
" Nay, misteri itu bukan untuk ditakuti, tapi untuk diungkap. Udah ya. Tetep jadi Nay yang kuat. J"
ZZZ
Sesampainya di rumah, ummi dan budhe menyambutku dengan senyuman.
"Apa kabar nduk? Gimana hari pertama jadi                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          bu dokter?" tanya budhe dengan riang.
"Alhamdulillah Budhe, lancar."
"Tapi kamu kelihatan lelah sekali nduk. Pasiennya banyak?" tanya ummi.
"Sekitar 20 Ummi. Yah cukup melelahkan bagi dokter pemula seperti Nay. Emm.. Ummi, Budhe, Nay ke kamar dulu ya?"
"Iya nduk. Selamat istirahat Bu dokter." Sahut ummi.
Ketika aku membuka pintu kamar, bel berbunyi.  Ummi beranjak dari duduknya. Tak lama setelah itu, ummi memanggilku di kamar. Tapi ini bukan waktu yang tepat. Ummi memanggilku saat aku sedang menangis.
"Nay.. Ada Adam. Tapi dia.. Loh, kenapa lagi Nduk?"
"Emh tidak mi.. Nay hanya lelah. Emh, ummi bilang ke dia ya, Nay lelah, udah mau tidur."
"Ada masalah? Jangan suka memperpanjang permasalahan Nduk. Sudah, temui dia. Kalau ada masalah, segera selesaikan. Ummi perhatikan, dia sangat berharap bisa bertemu denganmu."
"Ummi temani Nay yah?"
"Ya nggak enak tho nduk. Ummi awasi dari balik tirai aja. Udah, ayo."
Dengan langkah gontai, kutemui dia. Sejenak kulihat sorot matanya. Masih terlihat kekhawatiran dari wajahnya.
"Nay.. kuharap, kamu nggak salah paham." katanya memulai pembicaraan.
"Hmm.. apa yang harus aku salah pahami? Semuanya sudah jelas kan?"
"Nay.. maaf kalau aku sudah melukaimu. Maaf Nay. Tapi aku nggak bermaksud."
"Lalu apa maksud semua ini? Dokter Ina? Calon istri? Lalu komitmenmu denganku? Selama ini? Apa maksudnya Dam? Selama ini aku mempertahankanmu Dam. Aku menunggumu. Tapi apa maksud semua ini? Apa??!" aku sudah tidak bisa membendung tangis yang kutahan sejak pembicaraan ini dimulai.
"Nay.. kumohon jangan menangis. Dengarkan aku dulu. Aku serius dengan komitmenku selama ini. Aku tidak main-main Nay. Hanya saja, aku belum membicarakannya dengan orang tuaku. Nah, orang tuaku mengira, bahwa aku belum punya pilihan. Jadi, ibu menjodohkanku dengan dokter Ina. Putri dari teman akrab beliau. Dan maaf, aku belum bisa untuk menjelaskan kepada ibu. Aku selalu terkendali ketika berhadapan dengan ibu. Aku teramat menghormatinya."
"Sejak kapan semua ini terjadi?"
"Emm.. hampir dua tahun." Katanya sambil menunduk.
"Dan selama itu tidak ada ketegasan? Dan harapan dokter Ina kepadamu bukankah semakin besar?"
"Maaf Nay.. yah, aku memang salah."
"Aku tidak butuh maafmu Dam. Aku hanya butuh ketegasanmu. Sekarang, tinggal bagaimana dirimu. Ketegasanmu. Aku sendiri sudah siap sejak 3 tahun yang lalu. Sejak kau meyakinkanku. Dokter Ina juga sepertinya sudah siap. Tinggal ketegasanmu, Dam. Ketegasanmu kepadaku, dokter Ina, juga orang tuamu."
"Nay, aku sengaja tidak membicarakan komitmen kita kepada orang tuaku dan dokter Ina ketika aku masih di Mesir. Aku ingin bicara secara langsung agr tak terjadi miss communication karena keterbatasan ruang."
"Sudah?"
"Maaf Nay.." sekali lagi, ia menunduk.
"Aku butuh ketegasanmu, Adam."
"Baiklah Nay. Aku akan berikan ketegasan itu." Katanya dengan tegas menatapku.
"Aku harap, aku tidak harus menunggu lama, Dam."
"Nay.. kamu masih yakin denganku kan?"
"Menurutmu?"
"Hmm.. baiklah Nay. Secepatnya, akan kubuktikan keseriusan komitenku."
Aku hanya bisa menghela nafas. Setelah itu dia pamit pulang. Ummi menghampirku dan tersenyum.
"Nduk, minta yang terbaik saja kepada Allah. Kalau iya ya jadi, kalo nggak kita bisa apa? Tawakkal yah?"
"Enggeh Mi, J"
“Dia Yang Maha Menentukan. Hanya Dia. Selama ini kamu sudah berusaha. Tapi tetap saja semuanya tergantung pada-Nya.  Tawakkal Nduk.”
Hmm.. yah, Segala sesuatu memang tergantung Kehendak-Nya. Karena segala sesuatu adalah milik-Nya. Namun bagiku, menjadi orang yang tawakkal tidaklah mudah. Apalagi untuk menghadapi masalah ini. Hmm.. tapi, ya sudahlah. Apa daya. Aku hanya makhluk-Nya yang lemah. Kalau memang aku dijadikan dari tulang rusuk Adam, apapun yang akan terjadi, dia pasti akan datang kepadaku. Tapi kalau ternyata bukan dia, pasti ada hikmah yang baik untuk hidupku. Kupercayakan pada-Nya.
ZZZ
Entah, ada rahasia apa dibalik rahasia-Nya. Namun aku yakin, Dia adalah sebaik-baik Maha Pengatur.
Seminngu telah berlalu setelah pertemuanku dengan Adam. Selama itu, ia tidak menghubungiku sama sekali. Dan selama itu pula, aku hanya bisa berusaha untuk tawakkal. Aku berusaha untuk tidak terlalu berharap kepadanya. Bukan suatu hal yang mudah tentunya. Tapi, aku selalu berusaha. Dengan rutinitasku yang kini sudah mulai padat, aku merasa terbantu untuk tidak terlalu menggantungkan hatiku padanya. Hingga hari ini, saat ia kembali meyakinkanku bahwa aku adalah perempuan yang ia pilih untuk mendampingi hidupnya. Saat ia menjelaskan padaku bahwa ia tlah berbicara secara baik-baik dengan dokter Ina. Saat ia menceritakan bahwa dokter Ina juga memiliki dua pilihan dan menerima bahwa ia memilihku. Aku tetap berusaha untuk tawakkal. Memang, ada suatu kelegahan hati. Tapi aku tak ingin larut dalam rasa itu. Karena semua ini adalah milik-Nya. Ia berhak mengambilnya kapanpun. Kapanpun.
ZZZ
 “Assalamualaikum…” terdengar salam dari suara lelaki yang tidak asing lagi bagiku, ketika aku sedang mendengarkan music klasik di kamar.
Segera ku jawab, kuhampiri si empunya suara dan kucium tangannya,”Waalaikumsalam warahmatullah.. Mas Adam kok pulangnya lebih cepat?”
“Iya, kerjaanku udah selesai. Enggak tau kenapa hari ini aku ngerasa kangen sama kamu, apalagi sama si kecil ini. Jadi pulangnya aku cepetin. Ummi mana??” Katanya sambil mencium perutku.
Yah, aku sudah menikah dengan Adam 5 bulan yang lalu dan sekarang, aku sudah hamil 3 bulan. Alhamdulillah.
J Ummi sudah tidur barusan. Mas Adam udah makan? Ini masih Nay siapkan nasi goreng kesukaan Mas.”
“Alhamdulillah. Mas udah makan Dinda. Tapi, hmm.. aroma masakanmu khas. Mas jadi pengen makan lagi. Tapi kalo makannya ditemenin sama istriku yang cantik ini, pasti tambah nikmat deh. Hehe.”
J Mask kok tumben ya hari ini. Biasanya kan mas nggak pernah muji Nay.”
“Mas lagi pengen aja din. Selama ini kan mas selalu mendem pujian buat kamu. Tapi hari ini mas udah  ngga bisa mendemnya lagi.”Katanya sambil menikmati nasi goreng.
J
“Dinda, kamu jaga janin kita baik-baik yah.”
‘Tentu Mas. Mas juga akan bantu jaga dia kan?”
“Insya Allah. Selama mas mampu mas akan jaga dia Din. Mas istrahat dulu yah? Capek banget rasanya.” Katanya seusai makan.
“Ia mas. Nanti Nay nyusul. Nay mau cuci iring dulu.”
Setelah ia mencium kening dan perutku, ia masuk ke kamar. Tak lama setelah itu, ada angin sejuk yang menyapaku. Tapi anehnya, angin itu membuatku ingin cepat-cepat menghampiri Adam. Aku merasa sangat merindukannya. Segera kuselesaikan pekerjaanku dan kuhampiri Adam di kamar. Dia sudah terlelap. Mungkin dia lelah sekali. Biasanya, sebelum tidur ia sempatkan waktu untuk membaca buku. Tapi… ada yang aneh, wajahnya terlihat berseri-seri, tapi.. kenapa pucat? Apa ia sakit? Perasaan cemas tiba-tiba menghampiriku. Kuraba keningnya, tangannya, dingin. Dingin sekali. Hmm.. tidak seperti biasanya. Kenapa ini?? Ada apa dengannya? Tidak ada dengkuran kecilnya. Dan tubuhnya… tubuhnya… tidak bergerak. Tidak ada hembus nafas yang terlihat dari dadanya. Kuraba nadinya. Tidak ada. Hidungnya. Tidak ada hembus nafas. Ya Rabb… ada apa ini?? Angin sejuk nan dingin semakin terasa. Membuat tubuhku gemetar. Perasaan tak karuan bermunculan. Kukoyak tubuhnya. Tetap. Tidak ada reaksi.
“Mas Adam??! Mas?? Mas jawab Nay! Mas?! Mas jangan bercanda! Mas?!” tangisku sudah tak bisa terbendung. Perasaanku semakin tak karuan. “Mas Adam??? Maaaaaaaaaaaaaass??! Mas… Mas Adam?? Mas??!!” tangisku pun semakin menjadi. Segera aku berlari ke kamar Ummi.
“Ummi… Mi… mas Adam Mi… Ummi…”
“Lho… ada apa tho nduk?? Ada apa? Kok menangis?”
“Mas Adam Mi.. Mas Adam.. tidak bergerak..”
“Tidak bergerak gimana nduk?? Ayo ayo kita lihat..”
Aku pun kembali ke kamar dengan tubuh yang sudah lemas. Aku takut. Entah, aku belum siap. Ya Rabb…
“Nak… Adam.. bangun Nak..” kata Ummi sambil mengecek hidung, dada dan nadi Adam.
“Nak..?? Masya Allah… Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun.. Allah… anakku Nayla.. tabahkan hatimu nduk..” ummi memelukku erat.
“Ummi… tidak mi.. tidak. Ummi… Mas Adam… Nay belum bisa…” Tubuhku sudah sangat lemas, namun tangisku kian menjadi.
“Nduk.. semua ini milik-Nya nduk.. Semua ini milik-Nya.. Memang sudah waktunya Adam untuk kembali nduk. Dia kembali dengan bahagia. Lihat, wajahnya berseri nduk. Tabahkan hatimu, Nduk.”
Ya Rabb. Ternyata, pujiannya tadi, ia ucapkan untuk yang terakhir kalinya. Tenyata, pesannya adalah pesan yang terakhir kalinya. Masya Allah. Aku tau, semua adalah milik-Mu. Milik-Mu sepenuhnya. Tapi hamba hanyalah hamba-Mu yang lemah. Hamba masih terlalu lemah untuk melepaskannya kembali pada-Mu. Hamba masih terlalu lemah untuk melepas ayah dari janin ini Ya Rabb. Massih terlalu lemah. Maka kuatkanlah hamba-Mu ini Ya Rabb.. Kuatkan hamba. Masya Allah…
ZZZ
Angin senja terasa semakin sendu. Menyapa daun-daun yang siap gugur di pekarangan rumah. Menyentuh lembut wajah basahku. Basah oleh tetes air mata yang tak kunjung berhenti. Air mata yang menyimpan doa dan harapan dalam tiap tetesnya. Doa dan harapan yang kukirimkan untuk dua lelaki tercintaku. Untuk lelaki bersahaja yang selalu menyayangiku. Yang selalu memberi semangat dalam setiap langkah hidupku. Untuk lelaki yang tlah kembali pada-Nya dengan senyum ketenangan. Dengan wajah berseri-seri. Untuk lelaki yang mengingatkanku bahwa segala sesuatu adalah milik-Nya. Abah… Adam… Bahagialah di sana.

Akhwat Smile - 03 Jumadil Akhir 1432

Tidak ada komentar:

Posting Komentar