Rabu, 30 Oktober 2013

Senja Harapan


Senja Jogja mulai memerah, ketika aku keluar dari kelas perkuliahan. Aku berhenti sejenak di beranda kampus lantai empat sebelum pulang ke kontrakan, sedikit melepaskan lelah bersama keindahan senja.  Entah kenapa, sejak tahun-tahun lalu, aku begitu mengagumi senja. Warna jingganya selalu mengahadirkan nuansa yang berbeda dalam tiap harinya. kehadiran senja yang tak lama itu, selalu kunantikan untuk menemaniku melepas lelah, mensyukuri anugerah-Nya yang hadir mengiringi hariku. Biasanya, aku menemui senja di masjid kampus lantai dua, atau di selasarnya, atau juga di perpustakaan kampus lantai empat. Dan kali ini, beranda lantai empat yang kupilih untuk sejenak menikmati senja.
Belum lima menit aku menikmati senja, Nena, kawan sekelas dan sekontrakanku mengagetkanku dengan tegurannya.

“hey, Nay! Iih.. Kebiasaan deh, kalo sore-sore sukanya liatin langit. Ngga bosen apa nduuk?” katanya dengan mencubit pipiku.
“aiih.. kamu juga nih, ngga bosen tiap hari cubitin pipiku? Untung aja ngga bengkak.” Kataku sambil meringis memegangi pipiku. Kawanku yang satu ini memang tak pernah absen mencubit pipiku.
“hehe.. sory deh Nay, abis pipimu elastis banget. Aku jadi ketagihan nih. Hhe, pulang yok! Sendunya jangan lama-lama, ntar wajahnya cepet senja loh.” Sahutnya sambil merangkul pundakku.
“yee.. siapa yang lagi sendu sih. Lagian wajahku ngga bakal cepet senja, soalnya tiap hari pipiku kamu cubitin. Yang ada malah makin imut, makin chubby. Hehe..” sahutku sambil berjalan menuruni tangga. Ah, Nena memang selalu berhasil membuatku menyimpan senduku di senja hari. Dengan bahasanya yang renyah, ia berhasil menyita senjaku. Yah, sejak tahun-tahun lalu, sejak senja tahun itu, sendu menjadi warna dominan dalam senjaku.
“eh, Nay.. besok hari Minggu kan? Jadi nggak kita bersepeda?” tanya Nena saat kami berpapasan dengan anak-anak yang bersepeda di depan kontrakan.
“eh, iya. Jadi dong. Minggu lalu kan udah batal Nen. Tapi besok agak siangan aja ya? Besok pagi kan jadwalku piket bersih-bersih kontrakan.” Jawabku dengan nada memelas.
“emm, oke deh. Tapi, cubit dulu yaa..” sahutnya sambil mencubit pipiku kemudian belari menuju kamarnya.
“iih.. Nenaaa! Awas yaaa!” teriakku sambil mengejarnya. Ah, senja ini kuhabiskan dengan canda tawa bersama Nena, melupakan sendu senjaku. Aku dan dia pun masih terus bercanda sampai adzan maghrib berkumandang.

Minggu pagi, sekitar pukul 08.30, sesuai dengan kesepakatan, aku dan Nena memulai bersepeda. Tujuan pertama kami adalah mengelilingi kampus UNY lalu UGM. Setelah puas berkeliling dan ber-nasis ria, sekitar pukul 10.15 kami melanjutkan perjalanan ke jalan malioboro. Aku bersyukur, siang ini, matahari tak begitu terik karena mendung tipis sedikit menutupinya, sehingga keringat tak begitu deras mengucur. Aku segera memarkir sepeda ketika kami telah sampai di malioboro. Setelah itu, kami pun berjalan di sepanjang jalan ini. Melihat kios demi kios, sesekali masuk pertokoan, dan menjubelkan diri dalam keramaian Beringharjo. Lalu kami memutuskan untuk ke toko buku dekat Taman Pintar. Kebetulan, aku dan Nena memang butuh untuk membeli buku.
Tak terasa, kami keluar dari toko buku ketika waktu menunjukkan pukul 13.45. kami pun segera menuju Musholla Taman pintar usenjantuk sholat dhuhur. Setelah melepas lelah sejenak, kami memutuskan untuk membeli makan dan Benteng Vredeburg. Setelah membeli makan di angkringan depan BI, kami segera menuju Benteng. Kami memilih tempat di bagian atas benteng karena suasananya lebih tenang.
Usai makan, Nena mendadak ingin ke toilet. Aku pun akhirnya menikmati sore menjelang senja hanya ditemani oleh lalu lalang dua-tiga orang. Menikmati angin sejuk yang sejuk karena mendung awan. Sejenak, aku pun menyapukan pandangan ke sekitar. Namun, pandanganku terhenti ketika mataku menatap seseorang yang berdiri seorang diri salah satu sudut benteng.
Aku merasa sangat mengenal wajah itu. Namun, ada rasa sakit yang menyelinap dengan segera ketika pandanganku tak juga lepas darinya. Tiba-tiba, ia pun menyadari kalau ada yang memperhatikannya. Sejenak mata kami bertabrakan. Ia tersenyum, lalu menghampiriku. Aku semakin gugup, bingung, dan semakin merasa sakit, saat ia semakin mendekat dan aku semakin jelas melihat wajahnya. Tidak salah lagi.
“Assalamualaikum, Nay. Apa kabar?” dia menyapaku dengan senyum khasnya.
“eh, em.. ya.. Wa alaik salam wa rahmatullah. Eh, kabar baik. Em, kamu?” aku gugup menjawabnya. Aku tak tau harus bersikap bagaimana terhadapnya. Aku masih tak menyangka bisa bertemu dengannya di sini. Setelah senja  tahun itu, saat aku batal bertemu dengannya, aku tak pernah bertemu dan mendengar kabar tentangnya lagi.
“Alhamdulillah, aku juga baik, Nay. Kamu masih mengagumi senja kah, Nay?” tanyanya sambil kembali tersenyum, lebih tenang.
“em, ya.” Jawabku datar sambil menatap lurus. Aku tak sanggup menatap wajahnya. Aku masih tak mengerti. Aku masih tak percaya. Setelah senja itu, dan sekarang, tiba-tiba ia hadir di sini.
Em, ya. Senja itu, tepatnya senja tiga tahun lalu, saat aku masih duduk di kelas tiga Aliyah, dan waktu itu dia telah lulus dari madrasah dan nyantri di pesantren yang berbeda dengan pesantrenku. Aku telah memiliki hubungan persahabatan yang baik dengannya. Tetapi, kami saling tau bahwa kami saling memiliki ‘rasa’.  Akbar namanya. Senja itu, ia berjanji akan menemuiku di taman dekat Madrasah kami untuk memutuskan arah atas ‘rasa’ yang kami miliki. Namun, hingga senja hampir habis, ia tak kunjung datang menemuiku. Tak memberi kabar satu kata pun, sampai saat ini. Aku mencoba beberapa kali menghubunginya, tapi tak ada kabar yang kudapat. Sejak itu, aku seakan kehilangan banyak hal. Aku kehilangan dirinya secara tiba-tiba, aku kehilangan sahabatku, aku tak mendapatkan kepastian atas ‘rasa’ ini, dan mulai saat itu, warna senjaku berubah menjadi sendu.
Kami terdiam cukup lama. Hanya semilir angin yang bersenandung menyambut senja. Sampai akhirnya dia berkata memohon. “Nay, maafkan aku. Sungguh, maafkan aku. Apa kau mau menemuiku, besok sore, di sini? Aku akan menjawab semua tanyamu. Aku harus pergi sekarang.”
“eh,” aku sedikit menoleh kepadanya. ah, pertemuan macam apa ini? Datang secara tiba-tiba dan pergi juga tiba-tiba. Aku merasa hatiku semakin sesak. Aku semakin tak mengerti dengannya.
“Aku mohon, Nay. Aku takkan kecewakanmu lagi. Aku harus pergi sekarang.” Pintanya dengan lebih berharap.
“em, hmm.. baiklah, Akbar. Insya Allah.” Jawabku sambil tetap menatap lurus.
“terima kasih, Nay. Aku pergi dulu. Assalamualaikum, Nay.” Ucapnya sebelum pergi meninggalkanku yang masih tak mengerti dengannya.
“Nay, maaf, lama banget ya? Tadi aku ngga sengaja ketemu temen lamaku. Akhirnya ngobrol-ngobrol dulu. Hehe.” Tiba-tiba Nena datang mengagetkan aku yang masih menatap lurus.
“iih.. ngagetin aja deh. Yaudah yaudah. Pulang yok!” ajakku tak bersemangat karena pengaruh kehadiran Akbar.
Senja ini, kami pun segera menuju parkiran untuk pulang. Nena yang merasa bersalah terus berusaha menghiburku.
–––
Senin siang menejelang sore, aku berusaha memenuhi janjiku pada Akbar. Aku berangkat ke benteng dengan motor. Aku memutuskan untuk memarkir motor di komplek toko buku dan kemudian menuju musholla Taman Pintar untuk menanti waktu ashar. Setelah adzan lalu sholat, aku segera menuju ke benteng dengan berjalan kaki. Aku langsung menuju bagian atas benteng. Ternyata, Akbar sudah berdiri di salah satu sudut benteng..
“Hey, Nay. Alhamdulillah, kamu datang juga.” Sapanya sambil tersenyum.
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Aku pun berdiri di sisinya lalu ia mulai membuka pokok pembicaraan setelah beberapa menit kami hanya terdiam.
“Nay, sore itu, aku tlah bersiap-siap untuk mnemuimu. Tapi ketentuan Allah berkata lain. Ketika aku keluar dari kamar, tiba-tiba aku merasakan sakit yang sangat di dadaku, darah keluar dari mulut. Lalu aku jatuh dan ngga sanggup berdiri. Teman-teman pesantren membawaku ke rumah sakit. Paru-paruku memang bermasalah, Nay. Sejak kecil, paru-paruku memang bermasalah, dan waktu itu, aku memang kurang memperhatikan kebutuhan paru-paruku.”
Paru-paru? Ah, aku selalu ngeri ketika mendengar kata itu. Aku cukup kaget ketika mendengar keterangannya. Selama tahun-tahun ini, prasangka yang masuk tentangnya memang didominasi oleh hal-hal negatif.
“em, kau pasti bertanya-tanya kenapa aku baru menemuimu sekarang? Nay, setelah beberapa bulan di rumah sakit, kondisiku tak kunjung membaik. Aku memang tak mengabarimu karena aku tak ingin mengganggumu. Saat itu, kamu sedang persiapan ujian kan? Setelah hampir setahun aku dirawat, akhirnya aku bisa terbebas dari sakit itu, Nay…”
“Lalu, kenapa setelah itu, kamu nggak segera menghubungiku, Akbar. Apa memang kamu menganggap tak ada sesuatu yang perlu diselesaikan denganku?” selaku dengan wajah kecewa.
“Tidak, Nay. Tidak seperti itu. Saat itu, aku takut menyakitimu. Aku menunggu saat yang tepat, saat hatimu tlah cukup siap. Dan aku rasa, ini adalah waktu yang tepat, saat hatimu tlah cukup matang.”
Ah, tak ingin menyakiti? Padahal menunggunya bertahun-tahun adalah rasa sakit yang semakin sakit. Tapi, mungkin pertimbangannya memang benar. Hatiku yang sekarang, lebih tenang dari tahun-tahun lalu.
“Nay, mulai senja ini, sampai tak ada lagi senja di dunia. bisakah kamu berjanji tak akan menatapnya dengan tatapan sendu? Teramat sayang Nay. Warna senja yang tak lama, harusnya dinikmati dengan harapan-harapan baik.”
“Bukankah kamu yang menitipkan sendu-sendu itu padaku, Akbar? Sejak senja itu…”
“em, Nay. Maafkan aku. Ah ya, tentang ‘rasa’ itu, aku tak tau akhirnya. Senja itu, aku berniat berkomitmen denganmu. Tapi, untuk sekarang, keputusanku berubah. Karena aku tak yakin, dengan komitmen itu, ‘rasa’ itu tak semakin rumit. Karena ketetapan hanya ada pada-Nya. Tapi Nay, kita tentu harus berusaha. Menurutku, untuk saat ini, cukup titipkan ‘rasa’ itu pada-Nya yang memberi. Cukup percayakan pada-Nya, Nay. Percayalah bahwa Ia akan menyampaikan ‘rasa’ itu pada saat yang tepat. Entah atas harapan baik yang kamu harapkan, atau Ia akan menyampaikannya pada yang lebih baik dari yang kamu harapkan. Percayalah, Nay.” katanya yakin.
“eh?” aku menoleh padanya. Speechless. Semua kata-kataku diambil alih oleh air mata. Kata-katanya yang begitu yakin membuat kebekuan hatiku mulai mencair.
Ia tersenyum menatapku, “Nay..Yakinlah, dan berjanjilah untuk tidak menatap senja dengan sendu. Ia teramat merindukan senyummu.” Katanya sedikit menggodaku.
“em, ya, Akbar. Aku pikir, kata-katamu benar. Ah, terima kasih untuk pengganti senja itu, Akbar. Dan kita, tetap bersahabat kan?”
“ya. Tentu saja, Nay. kita akan tetap bersahabat, meski kamu di sini dan aku di sana.”
“eh? Maksudnya?” tanyaku tak paham.
“em, nggak. Oiya, ada lagi yang ingin kau kamu katakan atau tanyakan, Nay? Sepertinya aku harus pulang. Motornya mau dipake Masku.”
“em, begitu ya? Em, mungkin dicukupin di sini dulu, Akbar. Em, tapi kapan kita bisa bercanda-tawa lagi?” tanyaku sambil tersenyum.
“Ah, iya. Insya Allah, biar nanti aku hubungi kamu aja. No handphonemu masih tetep kan?”
“Iya. Oke, ati-ati di jalan, Akbar.”
“Sip. Kamu juga harus cepet pulang, senja hampir habis. Hati-hati di jalan juga yaa.” Katanya sambil tersenyum lalu berbalik meninggalkanku.
Senja memang hampir habis. Tapi aku belum ingin pulang. Senja ini, pertemuan singkat cukup mencairkan kebekuan hatiku. Meski menitipkan ‘rasa’ bukan hal yang mudah, tapi harapan yang terbaik memang hanya ada pada-Nya.
Waktu menunjukkan pukul 16.45. aku memutuskan untuk segera pulang, karena lepas maghrib, Nena mengajakku ke perpus. Ketika aku mengambil motorku di parkiran, tak sengaja aku berpapasan dengan Mbak Riza, kakak ipar Akbar yang berdomisili di Jogja. Aku menanyakan padanya apakah ia ke sini bersama Akbar, dan aku juga bercerita bahwa secara tak sengaja, kemarin aku bertemu dengan Akbar. Tapi, mendengar hal ini, Mbak Riza malah kaget.
“Akbar? Nay, kamu ngga salah orang kan? Akbar kan sudah meninggal dua tahun lalu.”
Speechless. Ngga mungkin? Lalu siapa yang kutemui senja ini dan senja kemarin? Jelas-jelas itu Akbar. Ya Rabb..
“Mbak, tapi, tap.. ngga mungkin aku salah orang. Dia memang Akbar Mbak. Ngga mungkin. Mbak jangan bercanda deh” Seketika nafasku memburu.
“Naya, mbak lebih ngga mungkin salah inget. Karena mbak jelas-jelas ikut mengurus kematiannya. Dia meninggal dua tahun yang lalu karena sakit paru-paru, Nay.” kata Mbak Riza meyakinkan.
Paru-paru? Ya Rabb.. aku semakin tak mengerti. Aku binging. Kakiku lemas. Tak percaya. Lalu Mbak Riza mengantarkanku ke komplek pemakaman di daerah Kota Gede. Tubuhku semakin lemas ketika melihat makam yang bertuliskan nama Akbar, tanggal lahir dan tanggal wafatnya. Benar. Dua tahun lalu. Kakiku terduduk melihatnya. Speechless. Semuanya tlah diambil alih oleh air mata. Saat itu, aku mulai mencoba mengingat dan memahami tiap kata-kata yang disampaikannya tadi. Entah siapa yang hadir sebagai Akbar senja tadi. Tapi tentu ada maksud di balik itu. Setelah beberapa menit aku terduduk di depan makamnya, Mbak Riza mulai menenangkanku. Mengajakku pulang karena adzan maghrib sudah mulai berkumandang.
Sejak senja itu, aku mulai berusaha untuk memenuhi janji itu, janji yang ditawarkan oleh ‘Akbar’. Aku mulai berusaha untuk lebih menghargai senja. Aku mulai berusaha menata hati dan ‘rasa’ ini. Membersihkan segala resah yang telah lama menyesaki hatiku. Menitipkan harapan-harapan baru kepada-Nya dan mempercayakan semuanya kepada-Nya. Karena, hakikatnya hanya Dia yang mampu memberikan harapan terbaik.
Akhwat Smile
Januari 2013

1 komentar:

  1. "Mulai saat ini, berjanjilah untuk tidak menatap senja dengan tatapan sendu."

    endingnya twist, keren! dialognya khas cerpen remaja islami, good work mbak Na.

    BalasHapus