Senja
Jogja mulai memerah, ketika aku keluar dari kelas perkuliahan. Aku berhenti
sejenak di beranda kampus lantai empat sebelum pulang ke kontrakan, sedikit
melepaskan lelah bersama keindahan senja. Entah kenapa, sejak tahun-tahun
lalu, aku begitu mengagumi senja. Warna jingganya selalu mengahadirkan nuansa
yang berbeda dalam tiap harinya. kehadiran senja yang tak lama itu, selalu
kunantikan untuk menemaniku melepas lelah, mensyukuri anugerah-Nya yang hadir
mengiringi hariku. Biasanya, aku menemui senja di masjid kampus lantai dua,
atau di selasarnya, atau juga di perpustakaan kampus lantai empat. Dan kali
ini, beranda lantai empat yang kupilih untuk sejenak menikmati senja.
Belum
lima menit aku menikmati senja, Nena, kawan sekelas dan sekontrakanku
mengagetkanku dengan tegurannya.
“hey,
Nay! Iih.. Kebiasaan deh, kalo sore-sore sukanya liatin langit. Ngga bosen apa
nduuk?” katanya dengan mencubit pipiku.
“aiih..
kamu juga nih, ngga bosen tiap hari cubitin pipiku? Untung aja ngga bengkak.” Kataku
sambil meringis memegangi pipiku. Kawanku yang satu ini memang tak pernah absen
mencubit pipiku.
“hehe..
sory deh Nay, abis pipimu elastis banget. Aku jadi ketagihan nih. Hhe, pulang
yok! Sendunya jangan lama-lama, ntar wajahnya cepet senja loh.” Sahutnya sambil
merangkul pundakku.
“yee..
siapa yang lagi sendu sih. Lagian wajahku ngga bakal cepet senja, soalnya tiap
hari pipiku kamu cubitin. Yang ada malah makin imut, makin chubby. Hehe..”
sahutku sambil berjalan menuruni tangga. Ah, Nena memang selalu berhasil
membuatku menyimpan senduku di senja hari. Dengan bahasanya yang renyah, ia
berhasil menyita senjaku. Yah, sejak tahun-tahun lalu, sejak senja tahun itu,
sendu menjadi warna dominan dalam senjaku.
“eh,
Nay.. besok hari Minggu kan? Jadi nggak kita bersepeda?” tanya Nena saat kami
berpapasan dengan anak-anak yang bersepeda di depan kontrakan.
“eh,
iya. Jadi dong. Minggu lalu kan udah batal Nen. Tapi besok agak siangan aja ya?
Besok pagi kan jadwalku piket bersih-bersih kontrakan.” Jawabku dengan nada
memelas.
“emm,
oke deh. Tapi, cubit dulu yaa..” sahutnya sambil mencubit pipiku kemudian
belari menuju kamarnya.
“iih..
Nenaaa! Awas yaaa!” teriakku sambil mengejarnya. Ah, senja ini kuhabiskan
dengan canda tawa bersama Nena, melupakan sendu senjaku. Aku dan dia pun masih
terus bercanda sampai adzan maghrib berkumandang.
Minggu
pagi, sekitar pukul 08.30, sesuai dengan kesepakatan, aku dan Nena memulai
bersepeda. Tujuan pertama kami adalah mengelilingi kampus UNY lalu UGM. Setelah
puas berkeliling dan ber-nasis ria, sekitar pukul 10.15 kami melanjutkan
perjalanan ke jalan malioboro. Aku bersyukur, siang ini, matahari tak begitu
terik karena mendung tipis sedikit menutupinya, sehingga keringat tak begitu
deras mengucur. Aku segera memarkir sepeda ketika kami telah sampai di
malioboro. Setelah itu, kami pun berjalan di sepanjang jalan ini. Melihat kios
demi kios, sesekali masuk pertokoan, dan menjubelkan diri dalam keramaian
Beringharjo. Lalu kami memutuskan untuk ke toko buku dekat Taman Pintar.
Kebetulan, aku dan Nena memang butuh untuk membeli buku.
Tak
terasa, kami keluar dari toko buku ketika waktu menunjukkan pukul 13.45. kami
pun segera menuju Musholla Taman pintar usenjantuk sholat dhuhur. Setelah
melepas lelah sejenak, kami memutuskan untuk membeli makan dan Benteng
Vredeburg. Setelah membeli makan di angkringan depan BI, kami segera menuju
Benteng. Kami memilih tempat di bagian atas benteng karena suasananya lebih
tenang.
Usai
makan, Nena mendadak ingin ke toilet. Aku pun akhirnya menikmati sore menjelang
senja hanya ditemani oleh lalu lalang dua-tiga orang. Menikmati angin sejuk
yang sejuk karena mendung awan. Sejenak, aku pun menyapukan pandangan ke
sekitar. Namun, pandanganku terhenti ketika mataku menatap seseorang yang
berdiri seorang diri salah satu sudut benteng.
Aku
merasa sangat mengenal wajah itu. Namun, ada rasa sakit yang menyelinap dengan
segera ketika pandanganku tak juga lepas darinya. Tiba-tiba, ia pun menyadari
kalau ada yang memperhatikannya. Sejenak mata kami bertabrakan. Ia tersenyum,
lalu menghampiriku. Aku semakin gugup, bingung, dan semakin merasa sakit, saat
ia semakin mendekat dan aku semakin jelas melihat wajahnya. Tidak salah lagi.
“Assalamualaikum,
Nay. Apa kabar?” dia menyapaku dengan senyum khasnya.
“eh,
em.. ya.. Wa alaik salam wa rahmatullah. Eh, kabar baik. Em, kamu?” aku gugup
menjawabnya. Aku tak tau harus bersikap bagaimana terhadapnya. Aku masih tak
menyangka bisa bertemu dengannya di sini. Setelah senja tahun itu, saat
aku batal bertemu dengannya, aku tak pernah bertemu dan mendengar kabar
tentangnya lagi.
“Alhamdulillah,
aku juga baik, Nay. Kamu masih mengagumi senja kah, Nay?” tanyanya sambil
kembali tersenyum, lebih tenang.
“em,
ya.” Jawabku datar sambil menatap lurus. Aku tak sanggup menatap wajahnya. Aku
masih tak mengerti. Aku masih tak percaya. Setelah senja itu, dan sekarang,
tiba-tiba ia hadir di sini.
Em,
ya. Senja itu, tepatnya senja tiga tahun lalu, saat aku masih duduk di kelas
tiga Aliyah, dan waktu itu dia telah lulus dari madrasah dan nyantri di
pesantren yang berbeda dengan pesantrenku. Aku telah memiliki hubungan
persahabatan yang baik dengannya. Tetapi, kami saling tau bahwa kami saling
memiliki ‘rasa’. Akbar namanya. Senja itu, ia berjanji akan menemuiku di
taman dekat Madrasah kami untuk memutuskan arah atas ‘rasa’ yang kami miliki.
Namun, hingga senja hampir habis, ia tak kunjung datang menemuiku. Tak memberi
kabar satu kata pun, sampai saat ini. Aku mencoba beberapa kali menghubunginya,
tapi tak ada kabar yang kudapat. Sejak itu, aku seakan kehilangan banyak hal.
Aku kehilangan dirinya secara tiba-tiba, aku kehilangan sahabatku, aku tak
mendapatkan kepastian atas ‘rasa’ ini, dan mulai saat itu, warna senjaku
berubah menjadi sendu.
Kami
terdiam cukup lama. Hanya semilir angin yang bersenandung menyambut senja.
Sampai akhirnya dia berkata memohon. “Nay, maafkan aku. Sungguh, maafkan aku.
Apa kau mau menemuiku, besok sore, di sini? Aku akan menjawab semua tanyamu.
Aku harus pergi sekarang.”
“eh,”
aku sedikit menoleh kepadanya. ah, pertemuan macam apa ini? Datang secara
tiba-tiba dan pergi juga tiba-tiba. Aku merasa hatiku semakin sesak. Aku
semakin tak mengerti dengannya.
“Aku
mohon, Nay. Aku takkan kecewakanmu lagi. Aku harus pergi sekarang.” Pintanya
dengan lebih berharap.
“em,
hmm.. baiklah, Akbar. Insya Allah.” Jawabku sambil tetap menatap lurus.
“terima
kasih, Nay. Aku pergi dulu. Assalamualaikum, Nay.” Ucapnya sebelum pergi
meninggalkanku yang masih tak mengerti dengannya.
“Nay,
maaf, lama banget ya? Tadi aku ngga sengaja ketemu temen lamaku. Akhirnya
ngobrol-ngobrol dulu. Hehe.” Tiba-tiba Nena datang mengagetkan aku yang masih
menatap lurus.
“iih..
ngagetin aja deh. Yaudah yaudah. Pulang yok!” ajakku tak bersemangat karena
pengaruh kehadiran Akbar.
Senja
ini, kami pun segera menuju parkiran untuk pulang. Nena yang merasa bersalah
terus berusaha menghiburku.
Senin
siang menejelang sore, aku berusaha memenuhi janjiku pada Akbar. Aku berangkat
ke benteng dengan motor. Aku memutuskan untuk memarkir motor di komplek toko
buku dan kemudian menuju musholla Taman Pintar untuk menanti waktu ashar.
Setelah adzan lalu sholat, aku segera menuju ke benteng dengan berjalan kaki.
Aku langsung menuju bagian atas benteng. Ternyata, Akbar sudah berdiri di salah
satu sudut benteng..
“Hey,
Nay. Alhamdulillah, kamu datang juga.” Sapanya sambil tersenyum.
Aku
hanya tersenyum menanggapinya. Aku pun berdiri di sisinya lalu ia mulai membuka
pokok pembicaraan setelah beberapa menit kami hanya terdiam.
“Nay,
sore itu, aku tlah bersiap-siap untuk mnemuimu. Tapi ketentuan Allah berkata
lain. Ketika aku keluar dari kamar, tiba-tiba aku merasakan sakit yang sangat
di dadaku, darah keluar dari mulut. Lalu aku jatuh dan ngga sanggup berdiri.
Teman-teman pesantren membawaku ke rumah sakit. Paru-paruku memang bermasalah,
Nay. Sejak kecil, paru-paruku memang bermasalah, dan waktu itu, aku memang
kurang memperhatikan kebutuhan paru-paruku.”
Paru-paru?
Ah, aku selalu ngeri ketika mendengar kata itu. Aku cukup kaget ketika
mendengar keterangannya. Selama tahun-tahun ini, prasangka yang masuk
tentangnya memang didominasi oleh hal-hal negatif.
“em,
kau pasti bertanya-tanya kenapa aku baru menemuimu sekarang? Nay, setelah beberapa bulan
di rumah sakit, kondisiku tak kunjung membaik. Aku memang tak mengabarimu
karena aku tak ingin mengganggumu. Saat itu, kamu sedang persiapan ujian kan?
Setelah hampir setahun aku dirawat, akhirnya aku bisa terbebas dari sakit itu,
Nay…”
“Lalu,
kenapa setelah itu, kamu nggak segera menghubungiku, Akbar. Apa memang kamu
menganggap tak ada sesuatu yang perlu diselesaikan denganku?” selaku dengan
wajah kecewa.
“Tidak,
Nay. Tidak seperti itu. Saat itu, aku takut menyakitimu. Aku menunggu saat yang
tepat, saat hatimu tlah cukup siap. Dan aku rasa, ini adalah waktu yang tepat,
saat hatimu tlah cukup matang.”
Ah,
tak ingin menyakiti? Padahal menunggunya bertahun-tahun adalah rasa sakit yang
semakin sakit. Tapi, mungkin pertimbangannya memang benar. Hatiku yang
sekarang, lebih tenang dari tahun-tahun lalu.
“Nay,
mulai senja ini, sampai tak ada lagi senja di dunia. bisakah kamu berjanji tak
akan menatapnya dengan tatapan sendu? Teramat sayang Nay. Warna senja yang tak
lama, harusnya dinikmati dengan harapan-harapan baik.”
“Bukankah
kamu yang menitipkan sendu-sendu itu padaku, Akbar? Sejak senja itu…”
“em,
Nay. Maafkan aku. Ah ya, tentang ‘rasa’ itu, aku tak tau akhirnya. Senja itu,
aku berniat berkomitmen denganmu. Tapi, untuk sekarang, keputusanku berubah.
Karena aku tak yakin, dengan komitmen itu, ‘rasa’ itu tak semakin rumit. Karena
ketetapan hanya ada pada-Nya. Tapi Nay, kita tentu harus berusaha. Menurutku,
untuk saat ini, cukup titipkan ‘rasa’ itu pada-Nya yang memberi. Cukup
percayakan pada-Nya, Nay. Percayalah bahwa Ia akan menyampaikan ‘rasa’ itu pada
saat yang tepat. Entah atas harapan baik yang kamu harapkan, atau Ia akan
menyampaikannya pada yang lebih baik dari yang kamu harapkan. Percayalah, Nay.”
katanya yakin.
“eh?”
aku menoleh padanya. Speechless. Semua kata-kataku diambil alih oleh air mata.
Kata-katanya yang begitu yakin membuat kebekuan hatiku mulai mencair.
Ia
tersenyum menatapku, “Nay..Yakinlah, dan berjanjilah untuk tidak menatap senja
dengan sendu. Ia teramat merindukan senyummu.” Katanya sedikit menggodaku.
“em,
ya, Akbar. Aku pikir, kata-katamu benar. Ah, terima kasih untuk pengganti senja
itu, Akbar. Dan kita, tetap bersahabat kan?”
“ya.
Tentu saja, Nay. kita akan tetap bersahabat, meski kamu di sini dan aku di sana.”
“eh?
Maksudnya?” tanyaku tak paham.
“em,
nggak. Oiya, ada lagi yang ingin kau kamu katakan atau tanyakan, Nay?
Sepertinya aku harus pulang. Motornya mau dipake Masku.”
“em,
begitu ya? Em, mungkin dicukupin di sini dulu, Akbar. Em, tapi kapan kita bisa
bercanda-tawa lagi?” tanyaku sambil tersenyum.
“Ah,
iya. Insya Allah, biar nanti aku hubungi kamu aja. No handphonemu
masih tetep kan?”
“Iya.
Oke, ati-ati di jalan, Akbar.”
“Sip.
Kamu juga harus cepet pulang, senja hampir habis. Hati-hati di jalan juga yaa.”
Katanya sambil tersenyum lalu berbalik meninggalkanku.
Senja
memang hampir habis. Tapi aku belum ingin pulang. Senja ini, pertemuan singkat
cukup mencairkan kebekuan hatiku. Meski menitipkan ‘rasa’ bukan hal yang mudah,
tapi harapan yang terbaik memang hanya ada pada-Nya.
Waktu
menunjukkan pukul 16.45. aku memutuskan untuk segera pulang, karena lepas
maghrib, Nena mengajakku ke perpus. Ketika aku mengambil motorku di parkiran,
tak sengaja aku berpapasan dengan Mbak Riza, kakak ipar Akbar yang berdomisili
di Jogja. Aku menanyakan padanya apakah ia ke sini bersama Akbar, dan aku juga
bercerita bahwa secara tak sengaja, kemarin aku bertemu dengan Akbar. Tapi,
mendengar hal ini, Mbak Riza malah kaget.
“Akbar?
Nay, kamu ngga salah orang kan? Akbar kan sudah meninggal dua tahun lalu.”
Speechless.
Ngga mungkin? Lalu siapa yang kutemui senja ini dan senja kemarin? Jelas-jelas
itu Akbar. Ya Rabb..
“Mbak,
tapi, tap.. ngga mungkin aku salah orang. Dia memang Akbar Mbak. Ngga mungkin.
Mbak jangan bercanda deh” Seketika nafasku memburu.
“Naya,
mbak lebih ngga mungkin salah inget. Karena mbak jelas-jelas ikut mengurus
kematiannya. Dia meninggal dua tahun yang lalu karena sakit paru-paru, Nay.”
kata Mbak Riza meyakinkan.
Paru-paru?
Ya Rabb.. aku semakin tak mengerti. Aku binging. Kakiku lemas. Tak percaya.
Lalu Mbak Riza mengantarkanku ke komplek pemakaman di daerah Kota Gede. Tubuhku
semakin lemas ketika melihat makam yang bertuliskan nama Akbar, tanggal lahir
dan tanggal wafatnya. Benar. Dua tahun lalu. Kakiku terduduk melihatnya.
Speechless. Semuanya tlah diambil alih oleh air mata. Saat itu, aku mulai
mencoba mengingat dan memahami tiap kata-kata yang disampaikannya tadi. Entah
siapa yang hadir sebagai Akbar senja tadi. Tapi tentu ada maksud di balik itu.
Setelah beberapa menit aku terduduk di depan makamnya, Mbak Riza mulai
menenangkanku. Mengajakku pulang karena adzan maghrib sudah mulai berkumandang.
Sejak
senja itu, aku mulai berusaha untuk memenuhi janji itu, janji yang ditawarkan
oleh ‘Akbar’. Aku mulai berusaha untuk lebih menghargai senja. Aku mulai
berusaha menata hati dan ‘rasa’ ini. Membersihkan segala resah yang telah lama
menyesaki hatiku. Menitipkan harapan-harapan baru kepada-Nya dan mempercayakan
semuanya kepada-Nya. Karena, hakikatnya hanya Dia yang mampu memberikan harapan
terbaik.
Akhwat Smile
Januari 2013
"Mulai saat ini, berjanjilah untuk tidak menatap senja dengan tatapan sendu."
BalasHapusendingnya twist, keren! dialognya khas cerpen remaja islami, good work mbak Na.